Yaumu'l Qiyamah (hari qiyamah) atau Yaumu'l Hisab (hari penghisaban/perhitungan) umumnya sering juga diistilahkan dengan Yaum'd Diin. Ini bisa ditemukan korelasinya ketika membaca kata-kata imam Ali k.w. yang sudah sangat populer, yaitu "Awwalu'd Diina Ma'rifatullah". Awal beragama adalah mengenal Allah. Sementara dari Hadits tentang melihat Allah, Rasulullah telah mengabarkan betapa mengenal Allah akan menjadi tugas utama manusia kelak.
Dikisahkan pada suatu hari, Rasulullah SAW berada bersama kaum muslimin, datang seorang lelaki yang kemudian bertanya,"Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dengan Al-Iman?". Lalu Baginda menjawab,"Kamu beriman kepada Allah, malaikat, semua kitab yang diturunkan, hari pertemuan denganNya, para Rasul dan beriman kepada hari kebangkitan."
Lelaki itu bertanya lagi,"wahai Rasulullah! Apa pula yang dimaksud dengan Al-Islam?" Baginda bersabda,"Islam ialahengkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan selainNya, mendirikan Shalat yang telah ditulis, mengeluarkan zakat yang diwajibkan dan berpuasa pada bulan ramadhan.".
Kemudian lelaki tersebut bertanya lagi," Wahai Rasulullah!
Apakah makna Al-Ihsan?". Rasulullah bersabda,"Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya, sekiranya engkau tidak melihatNya, maka ketahuilah bahwa Dia senantiasa memperhatikanmu.". Lelaki tersebut bertanya kembali,"Wahai Rasulullah! Bilakah hari kiamat akanberlaku?". Rasulullah bersabda,"Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya".
Lelaki tersebut bertanya kembali,"Wahai Rasulullah!
Terangkan padaku tanda-tandanya?". Jawab Nabi, "Apabila seseorang hamba melahirkan majikannya, maka itu adalah sebahagian dari tandanya. Selanjutnya apabila seorang miskin menjadi pemimpin masyarakat, itu juga adalah sebahagian dari tandanya. Selain dari itu apabila masyarakat yang pada asalnya adalah pengembala telah bermewah-mewah digedung-gedung nan indah, maka itu juga adalah sebahagian dari tandanya.
Hanya lima perkara itulah sebahagian dari tanda-tanda yang diketahui dan selain dari itu Allah saja Yang Maha Mengetahuinya.
Kemudian Rasulullah membaca QS Luqman :34 - "Sesungguhnya Allah lebih mengetahui kapan akan terjadi hari kiamat, disamping itu Dia jugalah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada didalam rahim. Tiada seorangpun yang mengetahui apakah yang akan dikerjakannya keesokan hari. Dan tiada seorangpun yang mengetahui dimanakah dia akan menemui ajalnya. sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Amat Meliputi pengetahuanNya." Kemudian lelaki tersebut pergi
dari situ.
Rasulullah kemudian bersabda kepada sahabatnya,"Panggilkan orang itu kembali!". Lalu para sahabat mengejar lelaki tersebut untuk memanggilnya kembali tetapi mereka mendapati lelaki tersebut telah menghilang. Lantas Rasulullah bersabda,"Lelaki tadi ialah Jibril a.s. Dia sengaja datang karena hendak mengajarkan agama kepada anda sekalian, karena anda tidak menanyakannya".
Dari hadits tersebut, terlihat bahwa permasalahan Ad-Diin itu sebenarnya melingkupi 3 aspek: 1. Al-Islam 2. Al-Iman 3. Al-Ihsan
Tiga aspek ini adalah wilayah interaksi antara seorang hamba dengan Allah. Kadang runtutan Al-Islam, Al-Iman dan Al-Ihsan disetarakan dengan fase-fase syariat-thariqat-hakikat-ma;rifat. Keduanya sama-sama menunjukkan bagaimana seorang hamba seharusnya menghadapkan wajahnya kepada Allah SWT. 'Hamba' sesungguhnya adalah derajat yang amat tinggi dalam wilayah interaksi antara mahluk dengan Khaliknya.
Penghambaan itu senantiasa dibangun atas dasar keridhoan atau kerelaan yang penuh suka cita. Dimana cinta kasih yang menjadi dasar interaksi kemudian
mengkristal menjadi wujud pelayanan dan penghambaan.
"Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan dukhan, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:' Datanglah kamu keduanya untuk taat kepada perintahKu dengan suka hati atau terpaksa'. Keduanya menjawab:'Kami datang dengan suka hati'". (QS 41:11)
Langit dan bumi, adalah mahlukNya yang tidak memiliki kebebasan berkehendak (free will), tetapi mereka dapat menyambut seruan Allah tersebut dengan kesukacitaan.
Sementara mereka tidak mungkin mengatakan apa yang tidak mereka rasakan. Sedangkan seorang anak manusia, bisa memilih apakah mau menjadi hambaNya atau mengingkariNya. Karena itu, kala mahluk yang memiliki kebebasan berkehendak, ternyata berkehendak menjadi hambaNya, maka semata itu berdasarkan ma'rifat. Artinya sang hamba telah mempelajari dengan sungguh-sungguh, baik dengan ilmu maupun ma'rifat, bahwa menghamba itu adalah alternatif terbaik dan termulis.
Ad-Diin merupakan jembatan antara kita dengan Allah SWT. Pengenalan kepada Allah merupakan tiang-tiang menyangga jembatan itu, dan aspek ma'rifatullah ini memang menjadi dasar dari Al-Islam, Al-Iman dan Al-Ihsan.
Al-Islam diawali dengan bersyahadat akan keesaan Allah SWT dan kerasulan Muhammad SAW. Ketika seorang hamba mengucapkan 2 kalimat syahadat, tentu bukanlah sekedar hapalan. Tetapi sebagai sebuah ekspresi terhadap apa yang dia lihat dan rasakan. Karena yang bersyahadat itu sesungguhnya adalah nur insan yang menjadi qolb kita, sebagaimana dahulu (sebelum kita dilahirkan didunia) hal ini pernah kita lakukan.
Allah berfirman:
"Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman:"Bukankah Aku ini Tuhanmu". Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi"". (QS 7:172)
Seperti ketika Ali bin Abi Thalib ditanya,"Wahai Amirul Mu'minin, apakah engkau menyembah yang engkau lihat atau tidak/". Jawabnya,"Aku menyembah yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan qolb.". Imam Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa bashirah, mukasyafah, musyahadah dan mu'ayanah merupakan nama-nama sinonim. Perbedaannya pada tahap kesempurnaan kejelasan. Ini berarti, sebuah persaksian (musyahadah) menuntut adanya 3 sinonim
itu.
Kemudian Al-Iman yang diawali dengan beriman kepada Allah. Sebagaimana ibadah, iman pun tidak mungkin diletakkan tanpa dasar pengenalan. Mungkinkah kita mempercayai suatu urusan kepada seseorang yang tidak kita kenal? Karena itu Imam Al-Ghazali pernah membegi derajat keimanan dalam tahap-tahap berikut:
1. Iman Awami (iman orang awam, secara awam)
2. Iman Mutakalimin (iman orang berakal, dengan akal)
3. Iman 'Arifin (iman orang 'arif, dengan ma'rifat)
Dan terakhir Al-Ihsan. Kata-kata "Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya, sekiranya engkau tidak melihatNya, maka ketahuilah bahwa Dia senantiasa memperhatikanmu" adalah sebuah kristalisasi dari aapek penghambaan yang didasarkan kepada ke-'arifan.
0 komentar:
Posting Komentar