Saudaraku yang kukasihi, Dia, Subhanahu wa Ta'ala (Yang Mahasuci dan Tinggi), adalah Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir (Tampak) dan Batin (Tersembunyi). (Persis seperti firmanNya): Dia Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir dan Yang Batin. (QS Al-Hadid [57]: 3)
(Dalam sebuah doa diungkapkan):
“Adakah mungkin bagi yang selain-Mu memiliki penampakan yang Kau tak miliki sehingga ia dapat menampakkan-Mu. Kapan kiranya Kau telah tersembunyi sedemikian sehingga Kau mungkin memerlukan sesuatu untuk mengungkapkan-Mu? Dan kapan Kau pernah menjauh sehingga menjadi mungkin untuk mencapai-Mu lewat jejak-jejak-Mu (yakni, ciptaan-ciptaan-Mu)? Butalah mata yang tak menampak-Mu sebagai (bersifat) mengawasi-diri.”
(Atau seperti kata Furuqi Busthami):
“Kau tak pernah tak hadir sehingga aku perlu mau bertemu dengan-Mu. Tak pula Kau tersembunyi sehingga kuharus mencari-Mu.”
Dialah Yang Menampakkan-Diri dan apa saja yang menampakkan-diri adalah penampakan-Nya. (Sesungguhnya) diri kita sendirilah (yang menjadi) hijab, egoisme, dan ego kitalah yang mengalangi pandangan kita.
(Inilah keluhan Hafiz):
“Kaulah hijab-mu sendiri, wahai Hafiz, singkirkan dirimu.”
Aku memohon pertolongan kepada Allah, Subhanahu wa Ta'ala, dan memohon kepada-Nya dengan sungguh dan penuh seluruh untuk membebaskanku dari penutup-penutup-mataku ini.
(Seperti terungkap dalam sebuah doa yang lain):
“Ilahi, anugerahilah daku kepasrahan-total kepada-Mu, dan sinari mata-mata-hatiku dengan pancaran penglihatan kepada-Mu, hingga mata-mata-hati itu mengorak hijab-hijab (yang menutupi) cahaya itu dan mencapai sumber Keagungan-(Mu), dan (jadikan) ruh-ruh kami terpancang dalam ambang Kesucian-Mu. Ilahi, jadikan aku termasuk yang menyahut tatkala Kau memanggil mereka, dan yang ketika Kau menatap mereka, mereka pingsan (akibat terpana) oleh Kedahsyatan-Mu.”
Saudaraku, kita masih (terjebak) dalam perangkap hijab-hijab (yang menutupi) kegelapan, dan di baliknya adalah hijab-hijab (yang menutupi) cahaya. Dan kita, yang matanya masih tertutup, terperangkap di dinding jurang!
Al-Quran, Rasul, dan Para Imam
Saudaraku, jika kau bukan seorang pengembara di dunia ruhani, setidaknya berupayalah untuk tak menyangkali maqam-maqam keruhanian dan 'irfani. Karena, salah satu dari tipuan terbesar setan dan diri-badani, yang mengalangi manusia dari meraih berbagai maqam kemanusiaan dan keruhanian adalah mendorong-dorong manusia untuk menyangkali atau bah kan melecehkan pelancongan ruhaniah menuju Allah. Hal ini akan menyeret manusia untuk menafikannya. Sebagai akibatnya, matilah (potensi keruhanian kita) sebelum ia sempat tumbuh dan berkembang. Padahal, inilah tujuan semua nabi-besar ('alayhimus-salam), para wali yang mulia, dan semua kitab samawi, khususnya Al-Quran yang abadi.
Al-Quran, kitab (mengenai) ma’rifat (kepada) Allah dan pelancongan spiritual menuju-Nya, telah jatuh dalam pengabaian dan disalahtafsiri oleh sahabat-sahabat yang jahil akan arah (yang dituju)-nya. Ia menjadi korban pandangan-pandangan yang menyesatkan dan pendapat-pendapat subjektif—yang sesungguhnya dengan tegas dilarang oleh para Imam ('alayhimus-salam)—sedemikian rupa sehingga setiap orang menafsirkannya secara semaunya sendiri. Kitab yang agung ini diturunkan dalam suatu lingkungan yang paling gelap dan pada suatu masa yang didalamnya hidup orang-orang yang paling terbelakang. (Akan tetapi) Ia diwahyukan pada hati-ilahi milik seseorang yang hidup dalam masyarakat yang sama. Di dalamnya, terdapat kebenaran-kebenaran dan ajaran-ajaran yang tak pernah didapati sebelumnya di dunia pada masa itu, apalagi di lingkungan tempatnya diturunkan. Inilah mukjizat terbesar dan terluhur. Ia mengandung perkara-perkara 'irfani yang tak pernah didapati dalam karya-karya Plato dan Aristoteles—yang dianggap sebagai filosof-filosof terbesar masa itu.
Bahkan, para filosof Muslim, yang belajar dalam buaian Al-Quran suci dan (merasa) mengambil darinya, cenderung mengabaikan ayat-ayat yang secara tersurat menegaskan sifat-hidup seluruh kemaujudan di dunia. Dan, para 'arif besar Islam, yang meneguhkan pernyataan-pernyataan seperti ini, mereka-(lah) yang telah menyerap dari Al-Quran. Tak ada kitab lain yang mengandung jenis perkara-perkara mistikal seperti yang terkandung dalam Al-Quran.
Inilah mukjizat-mukjizat Rasul yang mulia, yang menghubungkan-diri dengan Sumber Wahyu sehingga sumber menyampaikan kepadanya rahasia-rahasia kemaujudan. Dia jugalah yang, tegak di puncak kesempurnaan manusia, menampakkan hakikat-hakikat itu dengan terang-benderang tanpa hijab yang mengalangi. Pada saat yang sama, Ia hadir di seluruh dimensi kemanusiaan dan tahap-tahap kemaujudan, dan merupakan pengejawantahan tertinggi dari: “Dia Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir dan Yang Batin.”
Dengan demikian, ia (Rasul) menginginkan semua manusia untuk mencapai kesempurnaan. (Oleh karena itu) sungguh menyakitkan baginya untuk melihat bahwa mereka gagal mencapai kesempurnaan itu. Maka, boleh jadi ayat: Thaahaa. Tak Kami turunkan Al-Quran kepadamu agar kamu tertekan. (QS Th_ H_ [20]:1-2) secara tak langsung merujuk pada kenyataan ini. Dan boleh jadi, hadits Nabi berikut ini juga merujuk padanya: “Tak ada nabi yang dibuat untuk menderita siksaan (batin) sepertiku”.
Orang-orang yang mencapai maqam seperti itu, atau yang mirip dengannya, tak akan pernah menarik-diri dari orang-orang (masyarakat). Malah, sebaliknya, mereka dibebani (tugas) untuk membimbing orang-orang yang tersesat dan mengakrabkan serta menyelaraskan mereka dengan penampakan-penampakan (Allah) itu meski (mungkin) mereka tak berhasil. Orang-orang yang mencapai maqam-maqam tertentu—yang sehirup (minuman dari gelas 'irfan) telah membuat mereka lupa diri dan pingsan—meski mereka mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertentu, mereka tak dapat menggapai pengetahuan yang paling puncak. Musa, 'alayhis-salam, jatuh pingsan oleh penglihatan akan penampakan Allah, tetapi kemudian pulih berkat kemurahan hati dan (kemudian) ditugaskan melayani (orang-orang). (Tapi), sang Nabi penutup, dengan mencapai maqam tertinggi (yang biasa dicapai oleh) manusia dan berada di luar khayalan siapa pun, menjadi penampakan asma-asma Ilahi yang Mahabesar dan Mencakup. Lalu, ia ditugaskan membimbing (orang-orang) dengan kata-kata ini, Wahai orang yang berselimut, bangun dan sampaikan peringatanmu. (QS Al-Muddatstsir [74]: 1-2)
Saudaraku yang kukasihi, itu semua aku sampaikan—meski aku bukan apa-apa, bahkan lebih rendah dari itu—agar engkau tak sampai ke mana-mana (dalam perjalanan spiritualmu), setidaknya jangan menyangkali (hakikat) maqam-maqam spiritual dan ajaran-ajaran Ilahi. Cobalah untuk menjadi salah satu di antara orang-orang yang bersahabat dengan orang-orang saleh dan 'arif—meski kamu bukan salah seorang dari mereka. Dan jangan meninggalkan dunia ini dengan perasaan bermusuhan dengan teman-teman Allah Ta'ala.
Saudaraku, akrabkan dirimu dengan Al-Quran, kitab-agung pengetahuan ini, meski hanya dalam bentuk membacanya (tanpa mempelajarinya). Dengan demikian, engkau telah membangun hubungan dengan Yang Terkasih. Jangan berpikir bahwa membaca saja tanpa pemahaman (ma’rifah) adalah tak ada gunanya. Kesan seperti itu adalah hasutan setan. Bukankah ini adalah kitab yang datang dari Yang Terkasih untuk semua orang, termasuk untukmu Anakku! Surat dari Yang Terkasih amatlah indah meski si pencinta tak tahu maknanya. Dengan hasrat seperti itu, cinta Yang Terkasih, yang adalah kebaikan tertinggi, akan menyapamu dan, siapa tahu, Ia mungkin mengulurkan tangannya. Bahkan, jika kita harus bersujud sepanjang umur kita sebagai tanda terima kasih karena memiliki Al-Quran sebagai kitab-suci kita, itu masih tak mencukupi.
0 komentar:
Posting Komentar