Sejarah bangsa ini misalnya, selalu diyakini dimulai dari abad ke-5 Masehi, saat ditemukannya beberapa prasasti (di Kutai dan Bogor) yang bertarikh di masa itu. Sebuah identifikasi yang mengabarkan –seakan—sudah pada galib dan kodratnya kita adalah pewaris sah dari kera...jaan-kerajaan konsentris (pedalaman) berbasis agama Hindu dan Buddha. Sehingga kita kemudian menerima secara taken for granted dan melegitimas realitas kekinian kita yang hanya merupakan kelanjutan –dengan pembaruan seadanya di tingkat superfisial—dari adab dan budaya kerajaan pedalaman itu. Bahkan orang Jawa, lewat Mangkunegara IV, hingga kini meyakini hampir dengan taqlid bahwa nenek moyang mereka adalah seorang pangeran bernama Ajisaka, yang datang ke Jawa pada 78 M, tarikh dimana hitungan atau kalender Jawa bermuasal.
Tapi siapakah Ajisaka itu? Apa sesungguhnya makna dari produk kultural utama yang dia hasilkan, sehingga semua orang Jawa menautkan eksistensi diri padanya, sebuah runtutan alphabet ha-na-ca-ra-ka da-ta-sa-wa-la pa-da-ja-ya-nya ma-ga-ba-ta-nga? Siapakah dia, Dewata Cengkar, raksasa pemakan manusia, durjana yang konon dikalahkan oleh pangeran? Kerajaan macam apa, sistem seperti apa, kedurjanaan yang bagaimana yang sebenarnya dikuasai dan dimiliki oleh Dewata Cengkar? Adakah sesuatu atau hal lain yang berada di balik Dewata Cengkar, sebuah tradisi, adab, atau kebudayaan yang mungkin jauh hari sudah ada sebelum raja jawa kuno itu? Mungkin belum ada penjelasan yang cukup kuat atau –katakanlah—ilmiah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun setidaknya kita dapat mengidentifikasi beberapa konsekuensi logis dari kisah di atas.
Pertama, sebelum Ajisaka sebenarnya telah berdiri sebuah kerajaan lain, yang lebih asli, yang bukan India, Hindu atau Buddha.
Kedua, kerajaan lain atau asal itu tentu memiliki sistem, adat, kepercayaan ketuhanannya sendiri.
Ketiga, ia berlangsung sudah cukup lama sehingga ia cukup kuat sehingga harus ditaklukan oleh pendatang.
Keempat, logika ini sudah menjelaskan bahwa sebenaranya sang pendatang (Ajisaka) melakukan sebuah ofensi, perebutan kekuasaan, pengalihan adab dan kebudayaan, yang dalam terminologi modern disebut sebagai kolonialisme atau imperialisme.
Dan kelima, dari mana sebenarnya adab dan budaya kerajaan kuno Jawa itu berasal, apa yang ada dan berkembang dalam adab dan budaya kuno itu?
Penjelasan awal yang paling sederhana dari beberapa pertanyaan logis di atas bisa diambil dari pendekatan yang sangat dasar, yang berlaku untuk segala zaman, entah itu modern, tradisional atau primitif, yakni: geografi. Pendekatan ini dengan segera akan memberitahu kita tentang realitas atau kondisi alam yang melekat di kawasan ini.
Pertama, negeri ini sekurangnya sejak masa pencairan akhir (Pleistocen akhir) adalah sebuah negeri yang terdiri dari ribuan pulau, sebuah kepualaun.
Kedua, posisinya yang tepat di lintasan khatulistiwa membuatnya mendapat iklim yang tropis, dengan konsekuensi adaptasi-adaptasinya, konsekuensi yang melahirkan adab hidupnya.
Ketiga, letak masyarakatnya yang mau tak mau tersegregrasi oleh pulau-pulau membuat mereka menghimpun kesatuan-kesatuan etnik atau sub-etnik yang sangat beragam.
Keempat, teknologi, cara pikir, pola perilaku, hingga sistem-sistem kepercayaan dan bermasyarakat yang diterapkannya (hukum, ekonomi, politik dan diplomasi), mau tidak mau disesuaikan dengan realitas geografisnya itu: tropis dan kepulauan (maritim).
Kelima, berdasar temuan-temuan di bidang arkeologi, paleontologi, dan geografi, kurun yang dilalui oleh masyarakat kuno (pra hindu/India, mungkin juga pra-Jawa) itu adalah kurun yang sangat panjang (beberapa bahkan puluhan millenia), jika setidaknya dihitung dari ditemukannya tulang-tulang sisa dari manusia purba di seantero negeri ini. Dalam perkembangannya di masa kini, semua konstatasi di atas, mulai mendapatkan bukti-bukti fisik/mati (artefak) dan non-fisik/hidup (ecofak), yang membuat mata kita lebih terang dalam melihat diri sendiri.
Jauh lebih terang ketimbang bacaan-diri yang direfleksikan oleh kacamata para peneliti atau pengamat asing. Bukti-bukti itu, secara konstitutif, ada dalam beberapa hal berikut:
* Arkeologi maritim menemukan banyak bangkai kapal di bawah laut negeri ini, dengan tahun pembuatan mulai dari abad 7 SM, dengan teknologi pembuatan yang belum ada duanya dunia.
* Catatan-catatan dari para penjelajah, geographer, atau sejarawan berbagai bangsa dunia (Mesir, Yunani, Cina), mengabarkan tentang penjelajahan pelaut-pelaut Nusantara, dengan kapal, hasil bumi, dan hasil budaya tinggi, ke berbagai sudut dunia.
* Penemuan artefak-artefak di berbagai belahan dunia, termasuk di beberapa tempat di negeri ini (misalnya di gua Pasemah, Sumatera Selatan, gua Made di Jombang, Jawa Timur, lembah Mada di Sulawesi Selatan, Batujaya di Bekasi, atau banyak lokasi lain seperti Timor, Kutai, Maluku, Halmahera, dll) mengindikasikan bukan hanya terjadi perlintasan antar bangsa yang luar biasa, tapi juga kebudayaan advance yang telah dicapainya.
* Penyebaran bahasa yang mencakup setengah dunia, dan mengikutsertakan lebih dari 400 juta penutur membuktikan keberadaan bangsa-bangsa di Nusantara ini di wilayah-wilayah lain di atas bumi ini.
* Tumbuhan dan binatang, persenjataan, alat musik, hingga ilmu perbintangan dari berbagai kawasan, sejak dari Afrika, Timur Tengah, India, hingga Polynesia, memperlihatkan bagaimana pengaruh kultural sudah jauh lebih dulu terjadi, sebelum –katakanlah—bangsa India/Arya datang ke negeri ini.
Beberapa fakta dan bukti itu, memberi kita banyak dasar atau alasan argumentative untuk mengatakan beberapa tesis/hipotesis di bawah ini:
* Realitas geografis kita yang disesaki pulau-pulau dan dialiri selat-selat serta beberapa laut, yang dangkal maupun dalam, menciptakan sebuah teknologi pelayaran yang ternyata jauh mendahului teknologi pelayaran atau perkapalan dari negeri lain (Viking, Mesir, Mediterrania, Cina-Jepang, dsb). Sebuah kenyataan yang sangat logis, karena sebagai negeri maritim, negeri ini merupakan kepulauan terbesar di dunia. Kemampuan ini, membawa penduduk di kawasan dapat melakukan perjalanan juga migrasi ke berbagai tempat, yang dalam catatan mencakup setengah dunia, mulai dari Afrika/Timur Dekat di Barat, hingga kepulauan di Polynesia/Amerika di Timur, dari Szechuan/Cina di Utara hingga Selandia Baru di Selatan. Bahkan sejak 500 BCE, para pelaut negeri ini merajai semua ekspedisi laut seluruh dunia, dimana banyak negara dan bangsa besar tergantung padanya.
* Berdasar realitas itu juga, sejak masa 10.000 BCE, sudah berkembang kesatuan-kesatuan masyarakat (yang kemudian mengalami sofistikasi menjadi etnik dengan kebudayaan dan sistem politik tertentu), di berbagai wilayah pesisir dimana masyarakatnya cukup intens dalam melakukan perjalanan laut, mengalami pertemuan dengan berbagai budaya lainnya. * Bandar-bandar bermunculan seiring dengan tatanan hidupnya, dengan kebudayaan dan produk-produk budayanya masing-masing. Mulai dari sistem kemasyarakatan, spiritualisme (agama), kesenian, alat-alat produksi, sistem ekonomi, ilmu-ilmu dari perbintangan, navigasi, pembuatan kapal, hubungan mancanegara (antar Bandar), hingga politik (kekuasaan). Semua didasarkan pada kenyataan geografis di atas, dan posisional sebagai lokasi yang lintasan utama dari pergaulan internasional (antar bangsa).
* Terbentuknya sebuah alat komunikasi, bahasa dalam hal ini, yang mampu menciptakan hubungan fungsional di antara kesatuan-kesatuan etnik yang terpisah itu. Sebuah alat yang pada akhirnya turut berfungsi ampuh dalam menciptakan keeratan hubungan, kesalingtergantungan, kesatuan di antara para penghuni di kepulauan ini
Lewat penalaran dan penulusuran waktu, dimana dan kapan semua hal di atas terjadi serta bermakna, mungkin dapat secara tentatif kita mengidentifikasi beberapa ciri khas, atau karakteristik dari kebudayaan masyarakat kepulauan/maritim, yang sejak belasan ribu tahun lalu berkembang di kepulauan Nusantara ini.
* Masyarakat kepulauan ini dibangun melalui Bandar-bandar yang berdiri secara independen (otonom), baik dalam penciptaan dan pembangunan masyarakat, kebudayaan, sistem bernegara, dan lainnya.
* Masyarakat yang dibangun di tiap Bandar itu memiliki ciri-ciri yang khas kepulauan, seperti terbuka, kosmopolit, egaliter-demokratis, cair dalam kodifikasinya (tidak membeku seperti masyarakat/kota pedalaman), yang artinya sangat plural dan berkesadaran multicultural yang tinggi.
* Kebudayaan masing-masing Bandar terbangun melalui hubungan dan pertukaran yang intensif di antara mereka, maupun dengan kaum pendatang, juga anasir-anasir baru yang dibawa pulang oleh para delegasi kelautan mereka. Ini termasuk dalam sistem pemerintahan, ekonomi dan hukumnya.
* Muncul sikap budaya yang saling menghargai, memberi respek, sebagai akibat logis yang perjumpaan berintensitas tinggi. Konflik dapat terjadi, namun di dalam budaya tiap etnik maupun dalam pola hubungan (pergaulan) di antara mereka, terdapat sistem untuk melerai atau meredam konflik-konflik itu dalam skema win-win solution. Artinya tidak ambisi atau gerak yang penuh nafsu untuk mendominasi atau mengkolonialisasi Bandar-bandar atau wilayan lain, sehingga tercipta pergaulan yang konstruktif dalam membangun kejayaan (kebudayaan)nya masing-masing.
* Berdasar pada keyakinan spiritualnya animistik, setiap Bandar atau kesatuan etnik di kepulauan ini, membangun sistem kepercayaannya sendiri, dengan ritual bahkan dewa/tuhannya sendiri-sendiri. Polytheisme berkembang juga sebagai akibat pergaulan terbuka antar bangsa yang terjadi di antara mereka.
* Kepribadian pun terbentuk, juga hingga di tingkat personal yang sesuai dengan kenyataan kolektif itu. Manusia-manusia berkembang menjadi penjelajah, perantau/pengembara, kaum migrant yang tidak pernah mengalami kesulitan dalam mengadaptasi diri dengan lingkungan barunya. Beberapa suku, Bajo misalnya, bahkan bersifat nomaden dalam arti maritim: rumah tinggalnya bukan lagi bangunan yang terpancang permanen di atas tanah, tapi perahu yang terus bergoyang di atas gelombang laut.
Realitas eksistensial semacam itulah –di antaranya—yang membuat (suku-suku)bangsa di kepulauan ini sangat dikenal sejak –sekurangnya—1.000-1.500 BCE sebagai kaum penjelajah yang menciptakan diaspora pertama di atas muka bumi ini. Jauh sebelum, misalnya, bangsa Yahudi, Arya, Armenia, Roma, Arab, India atau Cina melakukannya, di lepas abad Masehi. Dengan kata lain, menurut Daud Aris Tanudirjo, arkeolog senior dari UI, pada masa itu sebenarnya telah terjadi globalisasi pertama kali di sepanjang sejarah manusia, yang dilakukan oleh penduduk Nusantara ini. Sebuah gerak menyeluruh yang tidak hanya membawa hasil-hasil fisik alam dan budayanya (gajah, pisang, palawija, perkakas, teknologi dll) tapi juga sistem berpikir, bahasa, kepercayaan, hingga ilmu-ilmu maju yang ada di kala itu.
Namun sekali lagi, globalisasi ini dilakukan dengan rendah hati, tanpa paksaan, dan secara soft atau kultural. Tak ada ambisi atau nafsu untuk mendominasi, menguasai, apalagi mengkolonialisasi, sebagaimana memang sudah menjadi adab di lokalnya. Namun ternyata, semua kekuatan alam dan kekayaan budaya yang terbangun selama sepuluh milenia itu, kini seperti tiada bekasnya. Karena kemudian datang manusia-manusia dari (dunia/peradaban) daratan/kontinental, yang dibawa atau numpang pelaut-pelaut internasional kita, dengan nafsu dan ambisi untuk mendominasi wilayah yang berlimpah kekayaannya, Eden di Timur.
Maka jadilah kemudian, seorang pangeran dari India Selatan, dari rumpun Pallawa, menabalkan dirinya sebagai pahlawan lewat mitologi ha-na-ca-ra-ka, mengangkat diri sebagai penguasa baru bahkan sumber identitas baru, acuan baru, genesis baru, yang bertahan hingga kini. Dialah Ajisaka. Kolonialis kontinental pertama di negeri ini. 10. Sejak itu, sejak dua ribu tahun lalu itu, perlahan kita menutupi bahkan membunuh perlahan-lahan semua sumber identitas kita; membunuh diri kita sendiri, membunuh masa kini dan masa depannya sendiri. Apa kemudian yang dapat kita lakukan, apa yang Anda lakukan untuk itu semua?
Dan kelima, dari mana sebenarnya adab dan budaya kerajaan kuno Jawa itu berasal, apa yang ada dan berkembang dalam adab dan budaya kuno itu?
Penjelasan awal yang paling sederhana dari beberapa pertanyaan logis di atas bisa diambil dari pendekatan yang sangat dasar, yang berlaku untuk segala zaman, entah itu modern, tradisional atau primitif, yakni: geografi. Pendekatan ini dengan segera akan memberitahu kita tentang realitas atau kondisi alam yang melekat di kawasan ini.
Pertama, negeri ini sekurangnya sejak masa pencairan akhir (Pleistocen akhir) adalah sebuah negeri yang terdiri dari ribuan pulau, sebuah kepualaun.
Kedua, posisinya yang tepat di lintasan khatulistiwa membuatnya mendapat iklim yang tropis, dengan konsekuensi adaptasi-adaptasinya, konsekuensi yang melahirkan adab hidupnya.
Ketiga, letak masyarakatnya yang mau tak mau tersegregrasi oleh pulau-pulau membuat mereka menghimpun kesatuan-kesatuan etnik atau sub-etnik yang sangat beragam.
Keempat, teknologi, cara pikir, pola perilaku, hingga sistem-sistem kepercayaan dan bermasyarakat yang diterapkannya (hukum, ekonomi, politik dan diplomasi), mau tidak mau disesuaikan dengan realitas geografisnya itu: tropis dan kepulauan (maritim).
Kelima, berdasar temuan-temuan di bidang arkeologi, paleontologi, dan geografi, kurun yang dilalui oleh masyarakat kuno (pra hindu/India, mungkin juga pra-Jawa) itu adalah kurun yang sangat panjang (beberapa bahkan puluhan millenia), jika setidaknya dihitung dari ditemukannya tulang-tulang sisa dari manusia purba di seantero negeri ini. Dalam perkembangannya di masa kini, semua konstatasi di atas, mulai mendapatkan bukti-bukti fisik/mati (artefak) dan non-fisik/hidup (ecofak), yang membuat mata kita lebih terang dalam melihat diri sendiri.
Jauh lebih terang ketimbang bacaan-diri yang direfleksikan oleh kacamata para peneliti atau pengamat asing. Bukti-bukti itu, secara konstitutif, ada dalam beberapa hal berikut:
* Arkeologi maritim menemukan banyak bangkai kapal di bawah laut negeri ini, dengan tahun pembuatan mulai dari abad 7 SM, dengan teknologi pembuatan yang belum ada duanya dunia.
* Catatan-catatan dari para penjelajah, geographer, atau sejarawan berbagai bangsa dunia (Mesir, Yunani, Cina), mengabarkan tentang penjelajahan pelaut-pelaut Nusantara, dengan kapal, hasil bumi, dan hasil budaya tinggi, ke berbagai sudut dunia.
* Penemuan artefak-artefak di berbagai belahan dunia, termasuk di beberapa tempat di negeri ini (misalnya di gua Pasemah, Sumatera Selatan, gua Made di Jombang, Jawa Timur, lembah Mada di Sulawesi Selatan, Batujaya di Bekasi, atau banyak lokasi lain seperti Timor, Kutai, Maluku, Halmahera, dll) mengindikasikan bukan hanya terjadi perlintasan antar bangsa yang luar biasa, tapi juga kebudayaan advance yang telah dicapainya.
* Penyebaran bahasa yang mencakup setengah dunia, dan mengikutsertakan lebih dari 400 juta penutur membuktikan keberadaan bangsa-bangsa di Nusantara ini di wilayah-wilayah lain di atas bumi ini.
* Tumbuhan dan binatang, persenjataan, alat musik, hingga ilmu perbintangan dari berbagai kawasan, sejak dari Afrika, Timur Tengah, India, hingga Polynesia, memperlihatkan bagaimana pengaruh kultural sudah jauh lebih dulu terjadi, sebelum –katakanlah—bangsa India/Arya datang ke negeri ini.
Beberapa fakta dan bukti itu, memberi kita banyak dasar atau alasan argumentative untuk mengatakan beberapa tesis/hipotesis di bawah ini:
* Realitas geografis kita yang disesaki pulau-pulau dan dialiri selat-selat serta beberapa laut, yang dangkal maupun dalam, menciptakan sebuah teknologi pelayaran yang ternyata jauh mendahului teknologi pelayaran atau perkapalan dari negeri lain (Viking, Mesir, Mediterrania, Cina-Jepang, dsb). Sebuah kenyataan yang sangat logis, karena sebagai negeri maritim, negeri ini merupakan kepulauan terbesar di dunia. Kemampuan ini, membawa penduduk di kawasan dapat melakukan perjalanan juga migrasi ke berbagai tempat, yang dalam catatan mencakup setengah dunia, mulai dari Afrika/Timur Dekat di Barat, hingga kepulauan di Polynesia/Amerika di Timur, dari Szechuan/Cina di Utara hingga Selandia Baru di Selatan. Bahkan sejak 500 BCE, para pelaut negeri ini merajai semua ekspedisi laut seluruh dunia, dimana banyak negara dan bangsa besar tergantung padanya.
* Berdasar realitas itu juga, sejak masa 10.000 BCE, sudah berkembang kesatuan-kesatuan masyarakat (yang kemudian mengalami sofistikasi menjadi etnik dengan kebudayaan dan sistem politik tertentu), di berbagai wilayah pesisir dimana masyarakatnya cukup intens dalam melakukan perjalanan laut, mengalami pertemuan dengan berbagai budaya lainnya. * Bandar-bandar bermunculan seiring dengan tatanan hidupnya, dengan kebudayaan dan produk-produk budayanya masing-masing. Mulai dari sistem kemasyarakatan, spiritualisme (agama), kesenian, alat-alat produksi, sistem ekonomi, ilmu-ilmu dari perbintangan, navigasi, pembuatan kapal, hubungan mancanegara (antar Bandar), hingga politik (kekuasaan). Semua didasarkan pada kenyataan geografis di atas, dan posisional sebagai lokasi yang lintasan utama dari pergaulan internasional (antar bangsa).
* Terbentuknya sebuah alat komunikasi, bahasa dalam hal ini, yang mampu menciptakan hubungan fungsional di antara kesatuan-kesatuan etnik yang terpisah itu. Sebuah alat yang pada akhirnya turut berfungsi ampuh dalam menciptakan keeratan hubungan, kesalingtergantungan, kesatuan di antara para penghuni di kepulauan ini
Lewat penalaran dan penulusuran waktu, dimana dan kapan semua hal di atas terjadi serta bermakna, mungkin dapat secara tentatif kita mengidentifikasi beberapa ciri khas, atau karakteristik dari kebudayaan masyarakat kepulauan/maritim, yang sejak belasan ribu tahun lalu berkembang di kepulauan Nusantara ini.
* Masyarakat kepulauan ini dibangun melalui Bandar-bandar yang berdiri secara independen (otonom), baik dalam penciptaan dan pembangunan masyarakat, kebudayaan, sistem bernegara, dan lainnya.
* Masyarakat yang dibangun di tiap Bandar itu memiliki ciri-ciri yang khas kepulauan, seperti terbuka, kosmopolit, egaliter-demokratis, cair dalam kodifikasinya (tidak membeku seperti masyarakat/kota pedalaman), yang artinya sangat plural dan berkesadaran multicultural yang tinggi.
* Kebudayaan masing-masing Bandar terbangun melalui hubungan dan pertukaran yang intensif di antara mereka, maupun dengan kaum pendatang, juga anasir-anasir baru yang dibawa pulang oleh para delegasi kelautan mereka. Ini termasuk dalam sistem pemerintahan, ekonomi dan hukumnya.
* Muncul sikap budaya yang saling menghargai, memberi respek, sebagai akibat logis yang perjumpaan berintensitas tinggi. Konflik dapat terjadi, namun di dalam budaya tiap etnik maupun dalam pola hubungan (pergaulan) di antara mereka, terdapat sistem untuk melerai atau meredam konflik-konflik itu dalam skema win-win solution. Artinya tidak ambisi atau gerak yang penuh nafsu untuk mendominasi atau mengkolonialisasi Bandar-bandar atau wilayan lain, sehingga tercipta pergaulan yang konstruktif dalam membangun kejayaan (kebudayaan)nya masing-masing.
* Berdasar pada keyakinan spiritualnya animistik, setiap Bandar atau kesatuan etnik di kepulauan ini, membangun sistem kepercayaannya sendiri, dengan ritual bahkan dewa/tuhannya sendiri-sendiri. Polytheisme berkembang juga sebagai akibat pergaulan terbuka antar bangsa yang terjadi di antara mereka.
* Kepribadian pun terbentuk, juga hingga di tingkat personal yang sesuai dengan kenyataan kolektif itu. Manusia-manusia berkembang menjadi penjelajah, perantau/pengembara, kaum migrant yang tidak pernah mengalami kesulitan dalam mengadaptasi diri dengan lingkungan barunya. Beberapa suku, Bajo misalnya, bahkan bersifat nomaden dalam arti maritim: rumah tinggalnya bukan lagi bangunan yang terpancang permanen di atas tanah, tapi perahu yang terus bergoyang di atas gelombang laut.
Realitas eksistensial semacam itulah –di antaranya—yang membuat (suku-suku)bangsa di kepulauan ini sangat dikenal sejak –sekurangnya—1.000-1.500 BCE sebagai kaum penjelajah yang menciptakan diaspora pertama di atas muka bumi ini. Jauh sebelum, misalnya, bangsa Yahudi, Arya, Armenia, Roma, Arab, India atau Cina melakukannya, di lepas abad Masehi. Dengan kata lain, menurut Daud Aris Tanudirjo, arkeolog senior dari UI, pada masa itu sebenarnya telah terjadi globalisasi pertama kali di sepanjang sejarah manusia, yang dilakukan oleh penduduk Nusantara ini. Sebuah gerak menyeluruh yang tidak hanya membawa hasil-hasil fisik alam dan budayanya (gajah, pisang, palawija, perkakas, teknologi dll) tapi juga sistem berpikir, bahasa, kepercayaan, hingga ilmu-ilmu maju yang ada di kala itu.
Namun sekali lagi, globalisasi ini dilakukan dengan rendah hati, tanpa paksaan, dan secara soft atau kultural. Tak ada ambisi atau nafsu untuk mendominasi, menguasai, apalagi mengkolonialisasi, sebagaimana memang sudah menjadi adab di lokalnya. Namun ternyata, semua kekuatan alam dan kekayaan budaya yang terbangun selama sepuluh milenia itu, kini seperti tiada bekasnya. Karena kemudian datang manusia-manusia dari (dunia/peradaban) daratan/kontinental, yang dibawa atau numpang pelaut-pelaut internasional kita, dengan nafsu dan ambisi untuk mendominasi wilayah yang berlimpah kekayaannya, Eden di Timur.
Maka jadilah kemudian, seorang pangeran dari India Selatan, dari rumpun Pallawa, menabalkan dirinya sebagai pahlawan lewat mitologi ha-na-ca-ra-ka, mengangkat diri sebagai penguasa baru bahkan sumber identitas baru, acuan baru, genesis baru, yang bertahan hingga kini. Dialah Ajisaka. Kolonialis kontinental pertama di negeri ini. 10. Sejak itu, sejak dua ribu tahun lalu itu, perlahan kita menutupi bahkan membunuh perlahan-lahan semua sumber identitas kita; membunuh diri kita sendiri, membunuh masa kini dan masa depannya sendiri. Apa kemudian yang dapat kita lakukan, apa yang Anda lakukan untuk itu semua?
0 komentar:
Posting Komentar