Memperhatikan peran destruktif hawa nafsu bagi manusia -yang Insya Allah- akan saya bahas secara terpisah clalam kajian benkutnya, maka wajar kalau ada yang bertanya-tanya tentang faedah Allah menciptakan hawa nafsu? Atau apakah sesungguhnya nilai positif hawa nafsu manusia itu? Untuk jawaban yang memadai, perhatikan beberapa butir di bawah:
1. Hawa Nafsu ialah Agen dan Aktor Penggerak Terkuat pada Jiwa Manusia
Hawa nafsu mampu membentuk sulûk (prilaku) manusia. Oleh sebab itu, Allah SWT mengkaitkan banyak masalah penting kehidupan dengan hawa nafsu. Hawa nafsu menjamin terpenuhinya beragam kebutuhan primer manusia. Masalah reproduksi, misalnya. la merupakan bagian vital kehidupan manusia. Tanpa proses tersebut spesies manusia akan punah. Untuk kebutuhan vital seperti di atas, Allah menganugrahi manusia dengan hawa nafsu seksual yang merangsang perkawinan dan reproduksi sebagai jaminan kelangsungan dan kelestarian jenis manusia.
Allah SWT menggantungkan pertumbuhan manusia pada nafsu makan dan mmum. Tanpa keduanya, manusia tidak akan dapat menumbuhkan lagi sel-sel yang rusak oleh gerak dan keija manusia.
Allah SWT juga telah membekali manusia dengan naluri bermasyarakat yang melaluinya sistem kehidupan sosial dan madani manusia muncul.
Posesifitas atau rasa memiliki dijadikan sebagai motor kegiatan ekonomi. Tanpa insting atau naluri ingin memiliki ini akan hancur seluruh sistem ekonomi manusia.
Amarah Allah jadikan sebagai sumber bagi aktivitas mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism) dan pertahanan terhadap kehormatan, harta dan keluarga. Jika amarah tidak ada pada manusia, maka permusuhan tidak akan ada dan nilai perdamaian pun akan sirna. Demikianlah, Allah SWT menjamin kebutuhan-kebutuhan hidup umat manusia yang primer dengan hawa nafsu.
2. Hawa Nafsu Sebagai Tangga Menuju Kesempurnaan
Hawa nafsu adalah tangga menuju kesempumaan, seperti itu juga ia dapat menjadi peluncur menuju kepada kekurangan. Berikut ini kita akan menjelaskan makna pernyataan di atas.
Berbeda dengan jenis perkembangan dan penyempurnaan pada benda padat, tetumbuhan dan binatang yang bersifat deterministik atau terpaksa, gerak penyempurnaan integral manusia menuju Allah berakar dari "irâdah".
Allah SWT memuliakan manusia dengan irâdah. Setiap langkah yang digerakkannya, berdasarkan irâdah dan ikhtiar. Meskipum kehendak Allah berlaku pada seluruh makhluk, namun manusia adalah makhluk yang melaksanakan kehendak Tuhan (hukum-hukum Tuhan) dengan irâdah dan ikhtiarnya sendiri.
Sebenarnya hudûd merupakan irâdah dan kehendak Allah SWT yang dilakukan manusia melalui ikhtiar dan irâdahnya, sebagaimana “hukum alam" juga merupakan keingi nan dan irâdah Allah yang dijalani makhluk lain secara terpaksa.
Dalam konteks inilah istilah khalîfatullâh dalam Alquran mesti dipahami.
Sedangkan makhluk lain dalam istilah Akjuran disebut musakharât bi amrihi (mereka yang tunduk pada perintah-Nya).
Kata khalîfah dan taskhîr (eksploitasi)) adalah dua kata yang mempunyai sisi persamaan dan sisi perbedaan. Persamaannya, keduanya bermakna menjalankan perintah Ilahi. Perbedaannya, khalîfah menjalankan berdasar ikhtiarnya sendiri, adapun yang Musakharât bi amrihi melaksanakan perintah tanpa ikhtiar dan irâdah atau secara deterministik dan terpaksa.
Disinilah letak rahasia nilai keagungan manusia. Seandainya ketaatan manusia kepada Allah tidak terjadi karena irâdah dan ikhtiar, niscaya dia tidak memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Dan karena itu pula Allah mengangkat manusia sebagai khalifah Allah SWT
Nilai perbuatan manusia berbanding-lurus dengan usaha yang dicurahkan dalam ketaatannya kepada perintah Allah. Karenanya, bertambah besar usaha dan susah-payah manusia dalam merealisasikan suatu ketaatan, bertambah pula nilai perbuatannya. Dari sisi lain, efektifitas perbuatan yang dilakukan dengan susah-payah itu lebih tinggi.
Jelas acla perbedaan yang mencolok antara nilai 'makan-minum' dan 'puasa' meski keduanya sama-sama melaksanakan perintah Allah. 'Makan-minum' dilakukan manusia tanpa susah-payah dan pengorbanan sedikitpun, karenanya nilainya pun tak berarti.
Apakah maksud susah-payah? Bagaimana ia bisa muncul? Mengapa derajatnya berbeda-beda?
Dalam peristilahan Islami, susah-payah itu disebut ibtilâ` (pencleritaan). Pendeiitaan ini selalu vis a vis hawa nafsu dan syahwat. Seandainya hawa nafsu dan naluri yang telah diletakkan oleh Allah dalam jiwa kita tidak ada, dan sekiranya ketaatan kepada Allah tidak dilaksanakan dengan menentang hawa nafsu, maka suatu perbuatan tidak akan mempunyai nilai dan tidak akan menjadi faktor pendorong dan pendekat manusia kepada Allah.
Perbedaan derajat penderitaan terjadi akibat perbedaan intensitas hawa nafsu dan syahwat. Jika hawa nafsu dan syahwat lebih menguat dan memaksa, maka penderitaan manusia dalam menahan, menentang dan menguasainya akan lebih besar. Selama perbuatan menuntut manusia untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menentang hawa nafsu dan syahwat, maka selama itu pula perbuatan akan lebih besar nilainya dalam tagarrub manusia kepada Allah, dan lebih agung pula pahala yang Allah berikan kepadanya kelak di surga.
Dengan demikian, jelaslah apa nilai hawa nafsu dalam menggerakkan manusia menuju Allah. Semua tagarrub mesti melewati hawa nafsu dan syahwat yang berada dalam jiwa.
Nilai bipolar (berkutub ganda) hawa nafsu -sebagai tangga kesempurnaan dan juga sebagai peluncur kesesatan- ini merupakan salah satu pemikiran keislaman yang amat unik. Di bawah ini ada beberapa nash keislaman berkenaan dengan bipolaritas hawa nafsu:
1. Dari Abi Al-Bujair - sahabat Nabi SAWW - berkata, suatu han Nabi SAWW merasa lapar, lalu beliau meletakkan sepotong kerikil di perutnya dan mengatakan: "Ketahuilah! Berapa banyak orang yang kenyang perutnya dan rapi pakaiannya di dunia, tapi dia akan kelaparan dan telanjang di akhirat. Berapa banyak orang yang memuliakan nafsunya, padahal dia menghmakan dirinya. Berapa banyak orang yang menghmakan nafsunya, padahal dia memuliakan dirinya. Berapa banyak orang yang tenggelam menikmati sesuatu yang telah dijanjikan Allah melalui Rasul-Nya, namun dia di sisi Allah tidak mendapat bagian apapun. "Ketahuilah bahwa 'kinerja surgawi' bagai bukit-bukit terjal yang bertebing cadas dan kinerja neraka bagai jalan mulus yang mudah dilalui nafsu. Berapa banyak nafsu yang sekejap (di dunia), justru mengakibatkan sengsara yang berkepanjangan (di akhirat). "
Nash di atas mengandung banyak renungan yang luar biasa. Banyak orang yang berperut kenyang, berdandan rapi, selalu memenuhi hawa nafsu clan memperoleh kelezatan tanpa pernah merasakan puas apalagi bersikap wara'... Sosok jiwa ini akan hadir di hari kiamat dalam keadaan lapar dan telanjang.
Sekian banyak orang yang seakan memuliakan hawa nafsunya dengan cara memenuhi setiap ajakannya. Padahal, dengan begitu, dia hanya akan merendahkan jiwanya sendiri. Sebaliknya banyak juga orang yang bersikap keras, sinis dan acuh tak acuh akan tuntutan hawa nafsunya, padahal begitulah cara yang sebenarnya untuk raemuliakan diri manusia.
Sungguh tidak sedikit manusia yang sengsara di akhirat akibat berfoya-foya dengan kelezatan hawa nafsu clan syahwatnya di dunia.
Ada sebuah riwayat yang demikian bunyinya: "Ketahuilah bahwa jalan yang mengantarkan manusia menuju surga bagai jalan terjal dau bertebing."
Kata al-haznah artinya ialah tanah keras yang penuh bebatuan. Perbuatan surgawi mesti melalui bukit yang tinggi nan terjal. Sedang perbuatan neraka hanya bagai berjalan di atas tanah yang mulus dengan "peluncur" nafsu, kesenangan dan kelezatan.
Demikianlah, orang yang berjalan di atas tanah yang keras, terjal dan menaiki tebing-tebing yang bebatuan, seakan dia melawan gravitasi. Sedangkan orang yang berjalan di tanah yang mulus, seakan dia berserah-diri pada gravitasi. Inilah perbedaan antara "kinerja surgawi" dan "kinerja neraka" serta antara ketaatan dan kemaksiatan.
2. Imam Ali as pernah menukil sabda Rasulullah SAW yang demikian bunyinya: "Sesungguhnya (jalan ke surga) penuh dengan kesusahan, sedang (jalan ke) neraka penuh dengan nafsu (Baca : kemudahan). Camkanlah! Ketaatan kepada Allah dilakukan dengan kesusahan. Sedang kemaksiatan hepada Allah dilakukan dengan nafsu. Semoga Allah merahmati orang yang menjauhkan jiwanya dari rayuan syahwatnya dan orang yang mengalahkan hawa nafsunya. Sesunggnhnya syahwat hendaknya ditarik sejauh mungkin (dari jiwa). Syahwat senantiasa rindu kepada kemaksiatan yang dilakukan dengan nafsu."
Nash ini mengungkap kesimpulan yang sama dengan teks-teks keislaman lainnya. Surga adalah terminal akhir gerak askendensial (menaik) manusia menuju Allah, sedang neraka adalah terminal akhir gerak deskendensial (menurun) manusia menuju kehancuran.
Tujuan yang pertama itu diliputi berbagai derita dan rintangan. Berbagai clerita dan rintangan itu terjadi akibat dari upaya jiwa menentang dan menolak ajakan hawa nafsu. Adapun tujuan yang keduanya penuh clengan kesenangan yang mudah menggelincirkan seorang ke jurang hawa nafsu.
Melalui sabda Nabi SAWW di atas, Imam Ali as menciptakan suatu landasan umum yaitu, tiada ketaatan yang diperoleh seorang kecuali dengan ketidaksukaan. Dan tiada kemaksiatan yang dilakukan seorang kecuali dengan kesenangan (nafsul.
Setelah uraian ini, tidak sulit bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa mengapa jalan menuju kesempurnaan. pertumbuhan dan gerakan menuju Allah harus melintasi hawa nafsu. Dan hanya melalui hawa nafsu ini manusia clapat naik menuju Allah SWT Sekiranya tak ada hawa nafsu yang telah diciptakan-Nya, niscaya tak ada pula jalan yang mengantarkan manusia mendaki ke puncak ilahi.
3. Pergumulan Internal Jiwa ManusiaHawa nafsu ialah potensi yang disimpan Allah pacla diri setiap manusia. Manusia akan mengeluarkannya (mengaktualisasikannya) bila dibutuhkan. Seperti juga Allah telah meletakkan berbagai energi dalam perut bumi untuk bahan makanan, pakaian dan beragam prasarana kehidupan lainnya. Begitu pula dengan "suplai" air dan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.
Berbagai potensi yang diberikan Allah itu antara lain, pengetahuan. kebulatan tekad, keyakinan, kesetiaan, keberanian, ketulusan, 'iffah (menjaga harga-diri), disiplin, bashîrah (visi), kreativitas, kesabaran, penolakan, penghambaan ('ubûdiyyah) serta penegasan. Kemampuan-kemampuan ini ada dalam hawa nafsu manusia secava potensial.
Hawa-nafsu dan kemampuan instingtif lainnya adalah tahap kebinatangan manusia. Namun, berbeda dari semua binatang yang lain, Allah telah memberinya kemampuan untuk mengendalikan dan menghambat serta membatasi naluri-naluri ini dengan irâdah. Dan dengan begitu, kebinalan naluriah manusia dapat diubah menjadi keutamaan-keutamaan ruhani, maknawi, dan akhlaki seperti bashîrah, yaqîn, azam, keberanian dan ketaqwaan.
Bagaimana prosesnya naluri-naluri yang buas dan binal itu bisa berubah karena adanya "pencegahan" dan "taqwa" sehingga menjadi nilai-nilai yang tinggi dalam diri manusia? Aksi-reaksi apakah yang bisa mentrasformasikan naluri-naluri yang binal ini menjadi pengetahuan, keyakinan, kesabaran dan bashîrah?
Sungguh menyesal penulis untuk mengatakan "tidak tahu!". Pintu makrifat yang lebar ini masih tertutup bagi penulis. Sampai kini, belum ada psikolog modern maupun pakar studi-studi keislaman yang bersedia membuka pintu makrifat tersebut. Meskipun demikian, kalau kita menengok din kita sendiri, maka akan kita temukan isyarat-isyarat yang jelas akan terjadinya pergumulan dan interaksi besar dalam jiwa manusia.
Rasa malu, misalnya, bukan hanya sebab bagi tertekannya naluri seksual, tapi ia juga merupakan efek dari peristiwa pencegahan dan penekanan terhadap naluri lainnya. Begitu manusia membatasi seksualitasnya, dia memperoleh rasa malu terhadap praktik seksual yang bertentangan dengan akhlak, adab, estetika dan dzauq (cita-rasa Ilahi).
Adab yang saya maksud bukanlah tata-cara bergaul di tempat tidur, melainkan sesuatu lebih tinggi. Adab dan dzaug yang menjadi lambang supremasi manusia adalah efek dari pengekangan dan ketaqwaan yang dilakukan manusia di bidang naluriah.
Jika kita kembali pada Alquran, maka pasti kita temukan adanya beberapa isyarat yang jelas tentang adanya interaksi internal manusia.
Allah SWT berfirman:"... Dan bertagwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu..." (Q.S. Baqarah : 282)
Mungkinkah klausa wayu'allimukumullâh di-athaf-kan atau dikonjungsikan dengan wattagullâh, padahal keduanya tidak berhubungan? Ataukah kedua klausa ini merupakan setali tiga uang?
Mereka yang akrab dengan gaya-ungkap Alquran, tidak akan meragukan lagi bahwa dua klausa itu merupakan dua sudut dari sesuatu yang sama (dalam matematika disebut ekuilateral, peny.). Ilmu (dalam ayat ini) adalah efek ketaqwaan kepada Allah SWT Ilmu seperti ini tidak diperoleh dengan belajar. la adalah nur yang dipancarkan Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki.
Alquran dalam surah Al-Hadîd ayat 28, menyebut "nur" ini: "Hai orang-orang yang beriman (kepada rasul), bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah akan memberikan rahmat-Nya kepadamu dua kali lipat, dan menjadikan untukmu (nur) "cahaya" yang dengannya kamu dapat berjalan..."
Nur, dalam ayat ini, tak lain adalah ilmu dalam ayat sebelumnya. Ilmu dan taqwa yang ada dalam surah Al-Hadîd ayat 28 dan surah Al-Baqarah ayat 282 bersifat korelatif. Taqwa ialah realitas pengekangan naluri itu sendiri. Pengekangan ini bisa merubah naluri dan hawa nafsu menjadi nuv, ilmu dan bashîrah.
Dalam cerita Nabi Yûsuf as yang terdapat dalam surah Yûsuf 22, Allah berfirman: "Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Dengaji demikian Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
Dan kita temukan kandungan ayat yang bermiripan dalam cerita Nabi Musa yang terdapat dalam surah Al-Qashas ayat 14: "Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
Mengapa Allah mengistimewakan anugrah ini kepada Musa bin Imran as dan Yusuf as dan tidak selainnya? Apakah hikmah dan ilmu ini hanya diperuntukkan pada hamba-Nya yang tertentu dan bukan pada sembarang orang tanpa alasan? Apakah semua itu termasuk dalam sunnah Ilahiyah (keniscayaan Ilahi)?
Sungguh seorang yang akrab dengan bahasa Alquran walaupun sesaat saja tidak akan gamang akan hubungan hikmah dan ilmu dalam dua surah tersebut dengan al-Ihsân pada klausa "wakadzâlika najzilmuhsinîn'. Ketika Allah menghubungkan ilmu dan hikmah yang telah diperoleh Musa as dan Yûsuf as dari Allah SWT dengan "Al-Ihsân" itu berarti - sesuai dengan sunnatullah - bahwa ihsan atau kebaikan manusia adalah penyebab datangnya rahmat Allah dan turunnya hikmah dan ilmu dari sisi-Nya.
Singkat kata, ihsan dan amal baik manusia akan berubah menjadi hikmah dan ilmu. Tak pelak lagi, taqwa dan menahan nafsu adalah mishdaq (ekstensi) ihsan yang paling utama.
Saya tidak ingin berpanjang-lebar dalam kajian ini. Karena, penulis merasa tidak memiliki kunci utama menuju kajian yang sangat genting ini. Bagaimanapun juga, saya bevharap Allah menyiapkan dan memudahkan orang yang "layak" untuk mengkaji subyek bahasan ini.
Tak diragukan lagi bahwa jiwa manusia mengalami berbagai kausasi dan interaksi internal. Hal itu sama persis seperti kausasi dan interaksi eksternal yang terjadi dalam bidang fisika, kimia, geologi.
Fisik, umpamanya, mengenal kausasi dan interaksi panas dan gerak, atau arus listrik dan gerak dan lain-lain. Oleh sebab itu, penulis dengan rendah hati mengimbau sarjana psikologi keislaman untuk mengupas secara mendalam bidang yang penting ini dari berbagai bidang psikologis dan kemudian menyimpulkan hasil studinya itu.
0 komentar:
Posting Komentar