Saudaraku...

Hadits 4. Tahapan Penciptaan Manusia, Takdir dan Amalan Terakhirnya

Minggu, 03 Oktober 2010

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

رواه البخاري ومسلم

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga. (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Penjelasan

Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya pada kitab Bad’ul-Khalqi, bab Dzikrul-Malaikah, nomor 3036, juga pada bab al-Qadr dan al-Anbiya. Sementara Muslim meriwayatkannya pada permulaan kitab al-Qadr, bab Kaifiyatu Khalqil-Aadamy, nomor 2643.

Urgensi Hadits

Hadits ini sangat agung, memuat kondisi manusia mulai dari awal penciptaannya, kehidupannya di dunia hingga kondisinya yang terakhir di negeri keabadian akhirat, baik di kampung kebahagiaan (surga) maupun di kampung penderitaan (neraka). Semuanya berjalan sesuai ketentuan Allah.

Makna Kata dalam Hadits

الصَّادِقُ berarti orang yang benar dalam seluruh aoa yang dikatakannya, karena beliau adalah kebenaran dan kejujuran itu sendiri yang sesuai dengan kenyataan.

الْمَصْدُوْقُ (dibenarkan atau dapat dipercaya). Artinya segala ucapannya yang berkenaan dengan apa-apa yang diwahyukan kepadanya dapat dipercaya, karena malaikat Jibril datang kepadanya dengan membawa kebenaran. Dan Allah, telah membenarkan apa yang sudah dijanjikan-Nya.

يُجْمَعُ Berarti dikumpulkan dan dipelihara.

خَلْقُهُ (ciptaannya). Artinya, bahan ciptaannya, yaitu air mani (sperma) yang darinya manusia diciptakan.

فِي بَطْنِ أُمِّهِ (dalam perut ibunya). Maksudnya adalah dalam rahim ibunya.

نُطْفَةً Arti sebenarnya adalah air yang bersih, sedang maksudnya di sini adalah air mani (sperma).

عَلَقَةً adalah gumpalan darah yang tidak kering. Dinamai عَلَقَةً (yang secara harfiyah bermakna ‘gantungan’ karena ketergantungannya dengan bantuan yang menahannya.

مُضْغَةً secara harfiyah berarti ‘kunyahan’, yaitu segumpal daging seukuran kunyahan.

فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ ‘telah ditetapkan baginya ketentuan’. Artinya sesuatu yang mendahuluinya, yaitu yang ada dalam pengetahuan Allah, atau Lauh Mahfuzh, atau ketika masih dalam perut ibu.

Fiqhul Hadits (Pemahaman Atau Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Hadits)

1.Tahapan perkembangan janin dalam rahim

Hadits ini menjelaskan bahwa selama seratus dua puluh hari, janin mengalami tiga kali perubahan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi setiap empat puluh hari. Empat puluh hari pertama janin masih berbentuk nuthfah, percampuran antara sperma dan sel telur wanita, empat puluh hari berikutnya berbentuk gumpalan darah, dan empat puluh hari berikutnya menjadi segumpal daging. Setelah seratus dua puluh hari, Malaikat kemudian meniupkan ruh ke dalamnya, dan pada saat itulah ditetapkan bagi janin tersebut beberapa kalimat (ketentuan). Berbagai perubahan janin ini juga diisyaratkan Allah dalam ayat-Nya:

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan…” (QS. al-Hajj: 5)

Dalam firman-Nya yang lain:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. al-Mukminun: 12-14)

Dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga tahapan lainnya dari empat tahap penciptaan manusia yang sudah disebutkan dalam hadits di atas, sehingga menjadi tujuh tahapan. Karena itulah Ibnu Abbas ra. berkata: “Anak Adam diciptakan dari tujuh (tujuh tahapan).” Kemudian ia membaca ayat di atas.

Adapun hikmah diciptakannya manusia secara bertahap – padahal sebenarnya Allah mampu untuk menciptakan secara langsung dan dalam waktu yang singkat – adalah untuk menyesuaikan dengan sunnatullah yang ada dalam alam semesta; semuanya ada penyebab dan ada yang disebabkan; ada pendahuluan dan ada yang dihasilkan. Dan semua ini justru menandakan kekuasaan Allah yang sangat besar. Hikmah lainnya adalah agar manusia hati-hati dalam melakukan segala urusannya, tidak tergopoh-gopoh dan tergesa-gesa. Juga mengajarkan kepada manusia bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan sempurna, baik dalam masalah yang bersifat batiniyah maupun lahiriyah, adalah dengan melakukannya secara hati-hati dan bertahap (sistematis).

2. Peniupan ruh

Para ulama sepakat bahwa ruh ditiupkan pada janin ketika janin tersebut telah berumur seratus dua puluh hari, yang dihitung mulai dari bertemunya sel sperma dan ovum. Artinya peniupan tersebut terjadi ketika janin berumur empat bulan penuh, dan masuk ke bulan kelima. Pada masa inilah segala hukum mulai berlaku padanya. Karena itu wanita yang ditinggal mati suaminya menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, yaitu untuk memastikan bahwa ia tidak hamil (dari suaminya yang meninggal) hingga tidak menimbulkan keraguan ketika ia menikah lagi dan kemudian hamil (apakah anak dari suami yang meninggal atau suami barunya).

Sedangkan ruh adalah sesuatu yang membuat manusia hidup, dan ini sepenuhnya urusan Allah, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. al-Isra’: 85)

Dalam Syarhu Shahiihi Muslimin lil-Imaam an-Nawawi dijelaskan: Ruh adalah jisim (benda) yang lembut yang beredar dalam tubuh dan bercampur, seperti bercampurnya air dengan dahan yang masih hijau (hidup). Dalam Ihya Ulumuddin, al-Ghazali menulis: Ruh adalah jauhar (atom) murni yang mengatur badan.

3. Larangan aborsi

Para ulama sepakat perihal haramnya aborsi setelah ruh ditiupkan ke dalam janin. Bahkan mereka menganggap bahwa aborsi adalah tindak pidana yang tidak boleh dilakukan seorang Muslim, karena termasuk kejahatan yang dilakukan terhadap makhluk hidup (manusia) dalam bentuknya yang utuh. Karena itu, jika dalam melakukan aborsi janin keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka dikenakan hukuman dan denda (diyat), namun jika keluar dalam keadaan mati maka denda materinya lebih ringan.

Hukum ini juga berlaku bagi pengguguran yang dilakukan ketika janin belum ditiupkan ruh ke dalamnya, karena penciptaan manusia pada dasarnya dimulai semenjak sperma membuahi sel telur (ovum) sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits Nabi. Imam Muslim meriwayatkan:

“Dari Hudzaifah bin Usaid bahwa Nabi saw bersabda: ‘Jika nutfah sudah melewati umur empat puluh dua malam – dalam riwayat lain empat puluh malam lebih – maka Allah mengutus malaikat untuk membentuknya, menciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya’ “

Dalam kitab Jami’ul-Uluum wal-Hikam karya Ibnu Rajab al-Hanbali, halaman 42, disebutkan bahwa wanita dibolehkan melakukan aborsi selama ruh belum ditiupkan pada janin dengan alasan bahwa hal ini seperti hukum ‘azl, adalah pendapat yang sangat lemah. Karena janin adalah calon anak, bahkan mungkin sudah terbentuk, sedang dalam ‘azl anak sama sekali belum ada, karena sel sperma tidak bertemu sel telur.

Sementara dalam kitab Ihya Ulumuddin, jilid II, halaman 51, al-Ghazali menulis: “Dan ini (‘azl) tidak sama dengan aborsi, atau mengubur bayi hidup-hidup, karena aborsi merupakan kejahatan terhadap makhluk hidup. Sedang kehidupan itu sendiri mempunyai beberapa tahapan. Tahap pertama adalah bertemunya sel sperma dan ovum dalam rahim, maka merusaknya adalah kejahatan. Jika kemudian telah berubah menjadi segumpal darah maka tingkat kejahatannya bertambah, dan apabila segumpal darah tersebut telah menjadi segumpal daging dan telah ditiupkan ruh ke dalamnya, maka kejahatan itu semakin bertambah berat. Kemudian kejahatan yang paling berat adalah ketika janin tersebut telah lahir menjadi bayi yang bernyawa.”

4. Allah tahu perihal apa yang akan terjadi pada manusia

Sesungguhnya Allah mengetahui kondisi manusia sebelum mereka diciptakan. Tidaklah sesuatu yang berhubungan dengan manusia, mulai dari keimanan, ketaatan, kekufuran, kemaksiatan, kebahagiaan maupun kesengsaraan, melainkan atas pengetahuan dan kehendak Allah. Dan banyak nash yang menyatakan hal ini, di antaranya sabda Nabi saw:

“Tidaklah satu jiwa yang telah ditiupkan ruh ke dalamnya, melainkan Allah telah menetapkan kedudukannya, di surgakah atau di neraka. Jika tidak, maka Allah telah menetapkan apakah ia bahagia atau celaka.” Seorang laki-laki kemudian bertanya: “Ya Rasulullah, jika demikian, tidakkah kita menanti saja ketentuan kita dan meninggalkan amalan?” Maka Rasulullah menjawab: “Beramallah kalian, karena setiap orang akan diberi kemudahan menuju kepada apa yang telah ditetapkan (Allah) untuknya. Orang yang ditentukan menjadi orang yang bahagia (penghuni surga), ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan golongan orang yang berbahagia, sedang orang yang ditetapkan sebagai manusia sengsara (penghuni neraka), ia akan digampangkan untuk mengerjakan amalan orang-orang yang sengsara.” Kemudian Rasulullah membaca ayat berikut:

فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى . وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى . وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى . وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS. al-Lail: 5-10)

Dengan demikian, pengetahuan Allah dalam masalah ini tidak identik dengan meniadakan ikhtiar seorang hamba, karena ‘pengetahuan’ tersebut adalah sesuatu yang tidak memberikan pengaruh. Kita tahu bahwa Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk beriman dan menaati perintah, juga melarang manusia dari kekufuran dan kemaksiatan. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang hamba mempunyai hak untuk berusaha demi mencapai apa yang ia inginkan. Jika tidak, maka perintah dan larangan Allah tersebut sia-sia belaka, dan ini merupakan sesuatu yang mustahil bagi Allah. Allah berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا . قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. as-Syams: 7-10)

5. Menggunakan takdir sebagai alasan

Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengimani dan menaati-Nya, juga melarang kita dari kekufuran dan kemaksiatan. Itulah yang telah dibebankan kepada kita, sedang apa yang telah ditakdirkan untuk kita, kita sama sekali tidak mengetahuinya. Karenanya alasan dari orang-orang yang kufur dan sesat bahwa kekufuran dan kesesatannya adalah takdir yang telah diputuskan Allah untuknya, tidak bisa diterima. Allah berfirman:

وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (QS. at-Taubah: 105)

Adapun setelah ketetapan (qadha) tersebut benar-benar telah terjadi, maka baru diperbolehkan untuk digunakan sebagai alasan, karena hal ini dapat meringankan perasaan orang-orang Mukmin; bahwa apa pun yang dialami (setelah melakukan usaha), maka inilah ketetapan Allah. Perlu diingat bahwa apa pun bentuk ketetapan itu, maka itulah yang terbaik bagi kita. Jika ketetapan itu kurang baik maka kita perlu bersabar, dan jika ketetapan itu kesenangan maka kita harus bersyukur.

6. Segala perbuatan ditentukan oleh penutupnya

Bukhari meriwayatkan

“Dari Sahl bin Sa’d, dari Rasulullah saw yang bersabda: ‘Sesungguhnya segala perbuatan ditentukan oleh penutupnya’.”

Artinya, barangsiapa yang telah ditetapkan Allah beriman di akhir hayatnya, maka meski sebelumnya dia kufur dan selalu melakukan maksiat, menjelang kematiannya ia akan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman, yang karenanya menghantarkan dirinya masuk surga. Demikian pula orang yang telah ditentukan kafir atau fasik di akhir hayatnya, maka meski sebelumnya ia beriman, menjelang kematiannya ia akan melakukan kekufuran dan kefasikan dengan kehendaknya sendiri, lalu ia meninggal dalam keadaan kufur hingga ia masuk neraka.

Karenanya jangan sekali-kali tertipu dengan sikap dan perilaku manusia, karena yang paling menentukan adalah akhir hayatnya. Jangan pula kita putus asa dengan sikap dan perilaku seseorang (misalnya karena perilaku yang penuh dengan kesesatan, lalu segera memvonis dan tidak mau mendakwahinya), karena yang paling menentukan adalah akhir hayatnya. Karena itu, kita mohon kepada Allah agar Dia berkenan menganugerahi kita keteguhan dalam kebenaran dan kebaikan serta memberikan husnul khatimah (akhir yang baik) kepada kita.

7. Dalam doanya, Nabi saw sering melafalkan:

يَا مُقَلِّبَ اْلقُـلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati saya dalam agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzi: 2/20, Syaikh Al-Albani berkata: ini adalah hadits sahih)

Dalam riwayat Muslim,

Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya hati-hati manusia terletak di antara dua jari Allah Azza wa Jalla, seolah-olah hanya satu hati, lalu Allah memalingkan sekehendak-Nya.” Kemudian beliau berdoa: “Wahai Dzat Yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan terhadap-Mu.”

8. Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Sesungguhnya akhir yang buruk – kita berlindung kepada Allah darinya – disebabkan karena bibit keburukan yang terpendam dalam jiwa manusia yang tidak diketahuinya. Demikian pula kadang ada seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan ahli neraka (perbuatan buruk), namun di dalam jiwanya terpendam bibit kebaikan, maka menjelang ajalnya bibit kebaikan tersebut tumbuh dan mengalahkan kejahatannya. Akhirnya ia pun mati dalam keadaan baik (husnul khatimah). Maka Abdul Aziz bin Daud pun berujar: “Waspadalah terhadap dosa, karena dosa bisa menjerumuskan manusia (menjadikan dirinya menerima su’ul lhatimah)” (Fathul-Mubiin li Syarhil-Arba’iin, hlm. 105)

0 komentar:

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Entri Populer