Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata: Abu Ya’qub an-Nahrajuri ditanya tentangfana’ dan baqa’ yang benar, maka ia menjawab, “Fana’ yaitu tidak melihat tindakan seorang hamba terhadap Allah Azza wajalla. Sedangkan baqa’ adalah tetap melihat tindakan Allah swt. dalam koridor penghambaan.”
Abu Ya’qub — rahimahullah — juga pernah ditanya tentang ilmu fana’ dan baqa’ yang benar, lalu ia menjawab, “Tak selalu dibarengi dengan penghambaan dalam fana’ dan baqa’, dan menggunakan ilmu ridha. Dan barang siapa tidak dibarengi dengan penghambaan dalam fana’ dan baqa’ maka ia adalah orang yang sekadar mengaku.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata, “Fana’ dan baqa’ adalah dua istilah, dimana keduanya merupakan sifat bagi seorang hamba menauhidkan Allah. Dimana ia hendak melangkah kejenjang yang lebih tinggi, dan tingkatan Tauhid umum menuju tingkatan khusus.
Sedangkan makna fana’ dan baqa’ pada tingkat awal ialah fana’ (hilang) nya kebodohan dengan baqa’ (tetap) nya ilmu, hilangnya maksiat dengan tetapnya ketaatan, hilangnya kelalaian dengan tetapnya mengingat Allah, hilangnya melihat gerak-gerik hamba dengan tetapnya pertolongan Allah swt. dalam ilmu yang telah ditentukan lebih dahulu.”
Para guru Sufu terdahulu telah membicarakan masalah fana’ dan baqa’.
Misalnya, Samnun — rahimahullah — yang pernah mengatakan, “Seorang hamba ketika dalam kondisi fana’, maka ia dibawa (mahmul). Sedangkan ketika ia dalam keadaan dibawa (haml) maka ia didatangi (maurud). Inilah sifat-sifat yang menunjukkan adannya sifat-sifat yang lain.” Ia mengatakan, “Tingkatan awal dan tahapan-tahapan fana’ adalah al-wujud dan al-musyahadat terhadap baqa’ (kekekalan).”
Abu Said al-Kharraz — rahimahullah — mengemukakan tentang makna firman Allah:
“Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu dari Allah.” (Q.s. an-Nahl: 53).
Maksudnya, Allah menghilangkan andil mereka dalam perbuatan yang mereka lakukan dan perbuatan mereka. Dan inilah awal dan kondisi spiritual fana’.
Dari Ja’far al-Khuldi — rahimahullah — yang berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata ketika ditanya tentang fana’, “Apabila fana’ telah hilang dari sifat-sifatnya, maka akan menemukan baqa’ dengan kesempurnaannya.”
Ja’far al-Khuldi berkata: Saya pernah mendengar dari
al-Junaid — rahimahullah — yang mengatakan, “Seluruh diri Anda menganggap asing dari sifat-sifat Anda dan menggunakan diri Anda secara keseluruhan.”
Ibnu ‘Atha’ berkata, “Barangsiapa tidak bisa fana’ dari melihat dirinya dengan melihat al-Haq dan tidak bisa fana’ dari al-Haq dengan al-Haq serta tidak bisa gaib dalam kehadirannya dari kehadiran al-Haq, maka ia tidak akan bisa menyaksikan al-Haq.”
Asy-Syibli — rahimahullah — berkata, “Barangsiapa fana’ dari al-Haq dengan al-Haq demi kepentingan al-Haq dengan al-Haq maka ia akan fana’ dari ar-Rububiyyah, apalagi fana’ dari aI-’Ubudiyyah.”
Barangkali Ruwaim — rahimahullah — pernah berkata ketika ditanya tentang masalah fana’ dan baqa’, “Awal dari ilmu fana’ ialah ketika berpijak pada hakikat-hakikat baqa’. Ini dengan memprioritaskan Allah daripada yang lain, dan mencari semua kondisi spiritual yang ada pada dirinya sehingga Dia merupakan bagiannya, dan hilangnya apa yang selain Allah, sehingga ibadah mereka dengan sendirinya hilang hanya untuk Allah dan yang ada hanyalah ibadah mereka karena Allah dan dengan Allah. Adapun setelah itu tidak akan sanggup dipahami dengan akal dan tidak akan mampu diucapkan lewat lisan.”
Dan Allah telah berfirman:
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (Q.s. ar-Rahman: 26).
Maka ciri orang yang fana ialah ketika bagiannya dari dunia dan akhirat telah hilang karena kekekalan mengingat Allah swt, kemudian hilang pula bagiannya dari mengingat Allah swt. ketika mengingat Allah swt. Kemudian ia tidak melihat pada mengingat Allah, sehingga yang ada hanyalah bagiannya dengan Allah.
Kemudian bagiannya dari Allah juga hilang karena melihat bagiannya, kemudian bagiannya juga hilang karena melihat bagiannya dengan fananya fana’ dan kekekalannya baqa’.
Pembahasan mengenai masalah ini cukup panjang. Dan Insya Allah apa yang telah kami sebutkan di atas sudah cukup.
Thanks : SufiNews.com
Abu Ya’qub — rahimahullah — juga pernah ditanya tentang ilmu fana’ dan baqa’ yang benar, lalu ia menjawab, “Tak selalu dibarengi dengan penghambaan dalam fana’ dan baqa’, dan menggunakan ilmu ridha. Dan barang siapa tidak dibarengi dengan penghambaan dalam fana’ dan baqa’ maka ia adalah orang yang sekadar mengaku.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata, “Fana’ dan baqa’ adalah dua istilah, dimana keduanya merupakan sifat bagi seorang hamba menauhidkan Allah. Dimana ia hendak melangkah kejenjang yang lebih tinggi, dan tingkatan Tauhid umum menuju tingkatan khusus.
Sedangkan makna fana’ dan baqa’ pada tingkat awal ialah fana’ (hilang) nya kebodohan dengan baqa’ (tetap) nya ilmu, hilangnya maksiat dengan tetapnya ketaatan, hilangnya kelalaian dengan tetapnya mengingat Allah, hilangnya melihat gerak-gerik hamba dengan tetapnya pertolongan Allah swt. dalam ilmu yang telah ditentukan lebih dahulu.”
Para guru Sufu terdahulu telah membicarakan masalah fana’ dan baqa’.
Misalnya, Samnun — rahimahullah — yang pernah mengatakan, “Seorang hamba ketika dalam kondisi fana’, maka ia dibawa (mahmul). Sedangkan ketika ia dalam keadaan dibawa (haml) maka ia didatangi (maurud). Inilah sifat-sifat yang menunjukkan adannya sifat-sifat yang lain.” Ia mengatakan, “Tingkatan awal dan tahapan-tahapan fana’ adalah al-wujud dan al-musyahadat terhadap baqa’ (kekekalan).”
Abu Said al-Kharraz — rahimahullah — mengemukakan tentang makna firman Allah:
“Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu dari Allah.” (Q.s. an-Nahl: 53).
Maksudnya, Allah menghilangkan andil mereka dalam perbuatan yang mereka lakukan dan perbuatan mereka. Dan inilah awal dan kondisi spiritual fana’.
Dari Ja’far al-Khuldi — rahimahullah — yang berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata ketika ditanya tentang fana’, “Apabila fana’ telah hilang dari sifat-sifatnya, maka akan menemukan baqa’ dengan kesempurnaannya.”
Ja’far al-Khuldi berkata: Saya pernah mendengar dari
al-Junaid — rahimahullah — yang mengatakan, “Seluruh diri Anda menganggap asing dari sifat-sifat Anda dan menggunakan diri Anda secara keseluruhan.”
Ibnu ‘Atha’ berkata, “Barangsiapa tidak bisa fana’ dari melihat dirinya dengan melihat al-Haq dan tidak bisa fana’ dari al-Haq dengan al-Haq serta tidak bisa gaib dalam kehadirannya dari kehadiran al-Haq, maka ia tidak akan bisa menyaksikan al-Haq.”
Asy-Syibli — rahimahullah — berkata, “Barangsiapa fana’ dari al-Haq dengan al-Haq demi kepentingan al-Haq dengan al-Haq maka ia akan fana’ dari ar-Rububiyyah, apalagi fana’ dari aI-’Ubudiyyah.”
Barangkali Ruwaim — rahimahullah — pernah berkata ketika ditanya tentang masalah fana’ dan baqa’, “Awal dari ilmu fana’ ialah ketika berpijak pada hakikat-hakikat baqa’. Ini dengan memprioritaskan Allah daripada yang lain, dan mencari semua kondisi spiritual yang ada pada dirinya sehingga Dia merupakan bagiannya, dan hilangnya apa yang selain Allah, sehingga ibadah mereka dengan sendirinya hilang hanya untuk Allah dan yang ada hanyalah ibadah mereka karena Allah dan dengan Allah. Adapun setelah itu tidak akan sanggup dipahami dengan akal dan tidak akan mampu diucapkan lewat lisan.”
Dan Allah telah berfirman:
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (Q.s. ar-Rahman: 26).
Maka ciri orang yang fana ialah ketika bagiannya dari dunia dan akhirat telah hilang karena kekekalan mengingat Allah swt, kemudian hilang pula bagiannya dari mengingat Allah swt. ketika mengingat Allah swt. Kemudian ia tidak melihat pada mengingat Allah, sehingga yang ada hanyalah bagiannya dengan Allah.
Kemudian bagiannya dari Allah juga hilang karena melihat bagiannya, kemudian bagiannya juga hilang karena melihat bagiannya dengan fananya fana’ dan kekekalannya baqa’.
Pembahasan mengenai masalah ini cukup panjang. Dan Insya Allah apa yang telah kami sebutkan di atas sudah cukup.
Thanks : SufiNews.com
0 komentar:
Posting Komentar